
Prof Tasrifin Tahara Nilai Kebijakan Pemkot Makassar Hapus 3.000 Honorer Adalah Langkah Rasional Wali Kota Appi
PEMERINTAH Kota Makassar di bawah kepemimpinan Wali Kota Munafri Arifuddin baru-baru ini mengambil langkah drastis dengan memberhentikan sekitar 3.000 petugas kebersihan honorer yang tidak terdaftar di Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Keputusan ini memicu gelombang pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama karena menyentuh langsung kelompok pekerja lapis bawah yang selama ini menjadi tulang punggung layanan kebersihan kota.
Namun kebijakan tersebut tidak hadir dalam ruang hampa. Ia muncul sebagai respons terhadap tekanan efisiensi anggaran dan perintah nasional untuk menata ulang tenaga non-ASN (Aparatur Sipil Negara).
Pemerintah pusat menginstruksikan agar semua daerah merapikan struktur kepegawaian mereka, menghindari pemborosan anggaran, serta menyiapkan birokrasi yang profesional, legal, dan akuntabel. Dengan latar inilah, kebijakan Munafri dapat dibaca sebagai pilihan rasional di tengah tantangan fiskal dan tata kelola yang kian kompleks.
Langkah ini memang berat. Ribuan pekerja yang selama ini bekerja di lapangan secara riil namun tidak memiliki status administratif, ibarat berada dalam bayang-bayang birokrasi.
Keberadaan mereka kerap tidak tercatat secara formal, tetapi terus menggerus anggaran daerah tanpa kejelasan peran dan tanggung jawab kelembagaan.
Dalam jangka panjang, situasi ini menciptakan ketimpangan antara beban fiskal dan legitimasi birokrasi, memperlemah prinsip-prinsip akuntabilitas publik.
Menilik dari sisi tata kelola anggaran, keputusan Pemkot Makassar merupakan upaya membangun efektivitas fiskal.
Efisiensi tidak sekadar dimaknai sebagai pemangkasan jumlah pegawai, tetapi juga sebagai penataan sistemik agar setiap rupiah anggaran memberikan manfaat optimal. Ini sejalan dengan prinsip value for money yang menjadi dasar reformasi birokrasi.
Dengan menghapus keberadaan tenaga kerja yang tidak terdokumentasi secara hukum, pemerintah daerah tidak hanya menurunkan beban anggaran, tetapi juga meningkatkan kejelasan struktur dan distribusi beban kerja.
Namun, pendekatan rasional ini tetap harus berjalan beriringan dengan kepekaan terhadap realitas sosial. Sebab, mereka yang diberhentikan bukan sekadar angka statistik, tetapi individu yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan tersebut.
Maka dari itu, strategi transisi harus menjadi prioritas. Pemerintah daerah sepatutnya menyiapkan skema pelatihan keterampilan baru, penempatan kerja alternatif, atau kerja sama dengan sektor swasta melalui model outsourcing yang menjamin hak dan perlindungan pekerja.
Kebijakan ini juga bisa menjadi momentum untuk membenahi sistem rekrutmen dan pengelolaan SDM secara menyeluruh.
Selama ini, praktik rekrutmen tenaga honorer di banyak daerah kerap dilakukan tanpa basis perencanaan yang jelas, bahkan tidak jarang disusupi kepentingan politik.
Oleh karena itu, digitalisasi sistem kepegawaian, audit personel, dan penguatan regulasi menjadi krusial untuk mencegah berulangnya masalah serupa di masa mendatang.
Langkah Wali Kota Munafri bukan tanpa risiko politik. Setiap penataan birokrasi pasti akan memunculkan riak, apalagi jika menyangkut hajat hidup banyak orang. Namun dalam jangka panjang, keberanian ini akan tercatat sebagai fondasi reformasi birokrasi di tingkat lokal.
Keputusan ini bisa menjadi preseden bagi daerah lain untuk mengambil langkah serupa—menyusun ulang struktur birokrasi agar tidak lagi sarat dengan praktik-praktik informal dan tidak berkelanjutan.
Pada akhirnya, keseimbangan antara efisiensi dan keadilan sosial harus tetap menjadi panduan. Pemerintah tidak cukup hanya mengambil kebijakan yang efisien secara teknokratis, tetapi juga harus memastikan bahwa mereka yang terdampak tidak terlempar dari sistem sosial dan ekonomi. Perubahan tidak selalu mudah, dan seringkali tidak populer.
Namun, untuk membangun pemerintahan yang transparan dan berdaya tahan, keberanian mengambil keputusan tak populer adalah keniscayaan.
Langkah Munafri Arifuddin menjadi pengingat bahwa penataan birokrasi bukan semata perkara administratif. Ia adalah kerja politik, sosial, dan moral yang menuntut visi jangka panjang, keberanian bertindak, dan empati terhadap warga yang terdampak.
Jika dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan inklusivitas, kebijakan ini bisa menjadi tonggak penting menuju birokrasi daerah yang lebih sehat, efisien, dan berkeadilan.(*)
Guru Besar Antropologi Unhas Makassar, Prof Dr Tasrifin Tahara M.Si